Tuesday 1 March 2011

Ilmuwan Ungkap Rahasia Semburan Bisa Kobra

Semburan Ular
Semburan Ular
Semburan bisa ular kobra dengan target yang akurat dan bisa membutakan mata baru-baru ini diteliti oleh sejumlah ilmuwan yang hasilnya diterbitkan dalam Physiological and Biochemical Zoology. Demikian yang dilaporkan Discovery Channel, Kamis (22/1).
Untuk studi ini, Bruce Young, pakar biologi di University of Massachusetts, bersama rekan-rekannya mencoba menguak ketepatan semburan bisa ular kobra. Mereka menganalisa sejumlah ular kobra merah, hitam dan belang-belang dewasa.
Diperlengkapi dengan alat pelapis kaca khusus yang melindungi matanya, Young menggoda seekor ular agar mau menyemburkan bisanya. Pelapis kaca tersebut diperlengkapi dengan accelerometer system yang dihubungkan dengan komputer guna memantau aktivitas gerak-geraik kepala Young dan ular tersebut.
“Karena bisa ular itu mampu menjangkau jarak di atas 6,5 kaki dan semburan ular itu kelihatannya sangat tepat, maka dianjurkan kita berada di luar jarak itu,” katanya. Namun kenapa semburan bisa ular itu mengarah ke atas tetap menjadi misteri.
Ditambahkannya, “Saat kami mengamati data, kami mengetahui bahwa kobra selalu menyembur usai kami mengubah arah kepala kami dan ketika saya menggerakkan kepala saya, ular juga menggerakkan kepalanya.”
Disimpukan mereka, semburan ular berbentuk geometris di mana ular hanya bergerak bersiku kecil mengikuti mangsanya. Sesekali sebelum kobra menyembur, dia menggerak-gerakkan kepalanya untuk “membidik” sasaran yaitu mata mangsanya.
Peneliti lebih lanjut menemukan bahwa kobra tidak melepaskan bisa sepenuhnya. Cairan bisa ular malahan menyembur di pola geometris yang khas, biasanya berbentuk oval. Ilmuwan meyakini cara ini meningkatkan daya semburan agar bisa ular dapat tepat mengenai mata lawan.
Selain menyebabkan kebutaan sementara atau permanen, bisa ular juga dapat menembus mata yang terbuka dan terus memasuki badan korban bahkan dapat menyebabkan masalah gangguan sistematik.

Tak Mau Kalah dengan Bulan, Burung Pun Tersenyum. Lucu Banget….

Dan, Burung Pun Tersenyum
Dan, Burung Pun Tersenyum
Masih ingat dengan fenomena menakjubkan, saat sang penguasa malam tersenyum di beberapa langit di Indonesia beberapa bulan lalu. Seolah tak ingin kalah dengan penguasa malam, sang penguasa udara pun unjuk gigi.
Tiga penguasa udara memperlihatkan formasi yang hampir sama dengan apa yang pernah diperlihatkan penguasa malam. Formasi yang unik dan lucu. Sebuah kebahagiaan sepertinya menaungi bagi orang yang melihatnya.
Kepakan sayap nan indah terbang mengitari angkasa. Dua burung di atasnya mengepakkan mata membentuk alis, seperti juga yang ada pada muka manusia. Sementara satu burung yang ada di bawahnya, membentuk formasi menyerupai mulut.
Senyum tiga burung ini semakin indah, ketika terpaan sang penguasa siang akan beristirahat dari peraduannya. Senja kemerahan menjadi sebuah background yang menakjubkan. Luar Biasa.

Mokele-Mbembe, Monster dari Kongo

Monster Misterius
Monster Misterius
Selain Nessie dari Danau Loch Ness, ternyata di rimba Kongo ditemukan makhluk sejenis. Penduduk lokal menyebutnya mokele-mbembe. Namun, mirip Nessie, keberadaannya masih misterius. Bukti masih beredar dari “mulut ke telinga”.
Cerita mokele-mbembe penghuni dasar danau ini berawal sejak tahun 1776, ketika sebuah cetakan jejak telapak kaki sepanjang sekitar 1 m ditemukan di permukaan lumpur di tepi sungai. Sebelumnya, ingatan kolektif soal ini sudah beredar di kalangan penduduk pribumi.
Dalam bahasa Lingala (salah satu bahasa di Kongo), mokele-mbembe berarti dia yang dapat menghentikan arus sungai. Dengan bangun tubuh sebesar kuda nil atau gajah afrika sepanjang 5 – 10 m arti tadi tidaklah berlebihan. Sosoknya umum digambarkan mirip sauropoda, yakni dinosaurus terbesar pemakan tumbuhan. Panjang leher hampir sama panjang ekornya, antara 1,6 – 3,3 m. Ada yang menggambarkannya berjumbai di kepalanya, mirip jengger ayam jantan. Bahkan ada yang mengaku melihat sepasang tanduk di kepalanya. Warna tubuhnya antara abu-abu hingga cokelat kemerahan. Kulitnya tebal, licin, dan tidak berambut.
Mokele-mbembe hidup di telaga atau daerah berawa-rawa di dekat sungai. Raksasa ini sering menyeberangi danau saat pindah dari sungai satu ke sungai lain. Seperti sauropoda, mokele memakan tumbuhan rawa. Makanan kesukaannya pohon malombo, yang terdiri atas Landolphia manii dan L. owariensis.
Mokele menjadi misteri karena jarang menampakkan diri. Seperti Nessie, ia lebih suka ngumpet di dalam air danau. Ia muncul saat kelaparan atau pindah ke lain rawa. Karena minim saksi itulah, banyak yang bilang binatang ini tak lebih dari kuda nil. Namun, orang-orang Pigmi penghuni daerah aliran sungai Likouala (Kongo) ngotot itu bukanlah kuda nil.
Jadilah kita terbengong-bengong! Masak orang asli di situ tidak bisa membedakannya dengan kuda nil? Apalagi mereka bilang mokele justru akan membunuh kuda nil yang dijumpainya. Jadi, mokele-mbembe itu benar-benar ada?
Itulah susahnya. Padahal tak kurang dari orang luar Afrika yang memberikan keterangan. Tahun 1913, Freiherr von Stein zu Lausnitz dikirim Pemerintah Jerman untuk mengeksplorasi Kamerun. Di sinilah ia mendengar cerita penduduk tentang mokele-mbembe yang menghuni daerah di sekitar Sungai Ubangi, Sangha, dan Ikelemba (Kongo). Menurut cerita yang sampai ke telinganya, binatang ini sebesar gajah atau kuda nil, tapi berleher panjang. Giginya hanya satu, tapi amat panjang, sampai-sampai orang menganggapnya itu tanduk. Mokele-mbembe juga memiliki ekor seperti buaya. Serunya lagi, von Stein mengaku melihat jejaknya di Sungai Ssombo.
Cuma batang kayu ?
Mokele-Mbembe
Mokele-Mbembe
Dibandingkan dengan Nessie, mokele-mbembe memang kalah populer. Situs google.com, misalnya, memberikan sekitar 136.000 halaman mengenai monster dari Danau Loch Ness itu. Sementara kapling mokele-mbembe cuma 2.020 halaman. Selama ini cerita tentang monster ini hanya berasal dari penduduk di sekitar sungai di pedalaman Kongo. Seiring dengan masuknya pendatang, cerita tentang mokele pun bertambah.
Herman Reguster, seorang penjelajah berkebangsaan Jerman, mengaku berhasil memotret binatang itu di Telaga Tele pada tahun 1980. Sayang, jepretannya tidak bicara banyak. Justru menimbulkan keraguan karena banyak yang melihatnya sebagai punggung buaya. Ngenes-nya lagi, ada yang bilang itu hanyalah batang kayu! Toh Reguster ngotot dengan keyakinannya, sambil menyodorkan bukti tambahan berupa cetakan gips jejak kaki mokele-mbembe.
Sebelum kedatangan Herman Reguster, terhitung sudah puluhan ekspedisi diadakan. Tujuannya menemukan mokele-mbembe atau kerabatnya di jantung Afrika. Amerika, Jerman, Jepang, bahkan Afrika sendiri pun berlomba-lomba menguak “harta karun” kerabat brontosaurus ini. Tapi ya itu tadi, semakin banyak upaya semakin sedikit yang bisa diperoleh.
Ekspedisi paling awal dilakukan oleh Carl Hagenbeck, naturalis berkebangsaan Jerman pada 1909. Hagenbeck kesengsem pada mokele-mbembe setelah mendengarkan cerita dari sohibnya, Hans Schomburg, penjelajah asal Inggris. “Binatang-nya besar, setengah gajah setengah naga. Hidupnya di rawa-rawa Kongo,” begitu cerita yang membangkitkan semangat ingin tahunya Schomburg. Sayang, nafsu besar tak didukung stamina dan persiapan yang matang. Hagenback tidak dapat meneruskan ekspedisinya karena penyakit dan serangan dari penduduk pribumi.
Dua tahun kemudian, Smithsonian Institution di Washington, D.C. pun tertarik menguak binatang “serba setengah” ini. Dikirimkanlah 32 orang anggotanya. Enam hari mengubek-ubek hutan perawan Afrika, yang diperolehnya hanya jejak-jejak raksasa dan suara yang – menurut mereka – tidak serupa dengan suara binatang mana pun yang pernah dikenal.
Sama seperti Hagenback, ekspedisi ini juga kandas di tengah jalan. Penyebabnya, saat menumpang kereta api menuju daerah yang diklaim oleh peduduk lokal sebagai basisnya mokele-mbembe, gerbong kereta terbalik dan menewaskan empat anggota ekspedisi. Enam anggota lainnya menderita luka-luka.
Sepeninggal Smithsonian masih banyak ekspedisi dilakukan. Tahun 1932, Ivan Sanderson melakukan penjelajahan di Afrika dan menemukan jejak raksasa yang mirip jejak kuda nil. Padahal di daerah itu tidak ditemukan kuda nil. Menurut penduduk setempat, jejak itu milik mgbulueM’bembe. Jejak serupa ternyata ditemukan pula oleh James H. Powell, yang dua kali mengadakan ekspedisi (1972 dan 1976). Ketika ia menunjukkan gambar dinosaurus sauropoda, penduduk mengenalinya sebagai mokele-mbembe.
Tahun 1983 Marcellin Agnagna dari Kongo membuat kemajuan yang berarti dalam ekspedisinya. Ia melihat binatang raksasa yang keluar dari danau pada jarak sekitar 275 m. Kepala makhluk itu berwarna kemerahan dan mirip kepala buaya dengan mata lonjong. Ia yakin, binatang itu sejenis reptil, tapi bukan buaya, kura-kura, atau ular raksasa. Tahun 1987, sebuah tim dari Jepang mencoba merekam mokele-mbembe dengan kamera video. Sayangnya, hasil bidikan mereka kurang jelas dan tidak meyakinkan.
Tidak sendirian

Danau Tele
Danau Tele
Mencari mokele-mbembe ibarat menemukan jarum di tumpukan jerami. Kondisi hutan Kongo yang rapat menyulitkan upaya itu. “Panas, peyakit, penduduk pribumi liar, serta takhayul berada di sekeliling mokele-mbembe,” kata Bill Gibbons, penjelajah yang ikut-ikutan mencari mokele. Hampir separuh wilayah Kongo tertutup hutan lebat yang nyaris tidak berubah selama 60 juta tahun lamanya.
Hutannya juga dipenuhi pohon berharga jual tinggi, seperti pohon mahogani dan limba. Jalan dan perkampungan sangat jarang ditemukan. Bahkan pemandu dan penduduk pribumi sering menolak mengantar peneliti masuk hutan meski dibayar mahal. Hutan perawan sepanjang Sungai Kongo adalah yang terganas, terpanas, dan paling jarang dikunjungi penjelajah. Jika memang benar ada, di sinilah tempat yang tepat bagi dinosaurus.
Wajar saja jika dari daerah yang tertutup itu berhembus cerita tentang monster atau makhluk sisa-sisa peradaban masa lampau. Mokele-mbembe tidak sendirian. Penduduk pribumi juga mengenal emelantouka, yang digambarkan sebagai pembunuh gajah atau gajah air. Makhluk ini mirip dinosaurus bertanduk, sosoknya sebesar gajah dan dengan tanduknya bisa membunuh gajah atau badak.
Dalam bukunya Eighteen Years on Lake Bangweulu, C.G. James melaporkan bahwa emelantouka hidup di Danau Bangweulu, Mweru, serta rawa-rawa Kafue di Zambia, juga di D. Tanganyika (Tanzania). Tahun 1933, menurut J.E. Hughes, penduduk Wa-Ushi pernah membunuh makhluk serupa di Sungai Luapula, yang terletak antara Danau Mweru dan Bangwelu di perbatasan Zaire dan Zambia.
Si pembunuh gajah ini ternyata juga dikenal di sekitar Danau Edward wilayah Zaire dan Uganda. Konon, pada tahun 1934, binatang yang dikenal dengan irizima ini terbunuh di Dongou, Kongo Utara. Selain di Dongou, binatang yang digambarkan sebagai kuda nil bertanduk ini sering muncul pula di daerah Epena dan Imfondo, masih di Kongo Utara.
Uniknya, meskipun mirip badak (karena tanduknya mirip cula), culanya tidak berambut seperti cula badak, melainkan mirip gading gajah. Roy P. Machal, ahli cryptozooid (ilmu yang mempelajari binatang misterius), yakin bahwa binatang yang di Kafue dikenal dengan chipekwe, sisa-sisa dinosaurus bertanduk seperti tricerops. Mungkin sejenis monoclonius atau centrosaurus.
Monster lain yang sering disebut-sebut adalah mbielu-mbielu-mbielu. Tampangnya mirip stegosaurus, binatang yang dipercaya memiliki lempengan keras di punggungnya. Dinosaurus ini lebih jarang dikenal karena lebih sering berendam di dalam air sungai. Hanya lempeng di punggungnya yang kelihatan. Ada monster lagi yang bernama nguma monene, piton raksasa. Cuma berbeda dengan ular sejenisnya, di punggung makhluk berpanjang antara 40 – 60 m ini terdapat semacam sisik tegak.
Wah, kalau begitu bukan ular dong! Cocoknya kadal raksasa. Penduduk sekitar biasanya menyamakan nguma monene ini dengan mbielu-mbielu-mbielu. Kedua monster ini hidup di daerah Sungai Dongou-Mataba di Republik Rakyat Kongo.
Menemukan danau baru

Karena minim bukti, banyak orang kemudian tidak yakin apakah monster-monster tadi benar-benar ada. Menurut Redmond O’Hanlon, penulis dan penjelajah Inggris, mungkin saja para saksi yang mengaku melihat binatang ini keliru melihat gajah liar. Robert T. Bakker, paleontolog dan penulis buku The Dinosaur Heresies juga menyangsikan adanya dinosaurus yang masih hidup. “Dinosaurus tidak bakal bertahan hidup sekarang. Mereka kalah bersaing dengan mamalia,” tegasnya.
Toh pencarian mokele-mbembe tetap saja dilakukan. Dampak positifnya, ditemukannya binatang-binatang baru seperti yang dialami William J. Gibbons kala melakukan penyelidikan di Kongo. Ia menemukan sisa-sisa tubuh monyet yang tidak dikenal sebelumnya. Setelah dibawa ke Inggris, para pakar binatang menyimpulkan bahwa monyet itu adalah spesies mangabey jenis baru (Cerocebus galeritus). Gibbon juga menemukan banyak spesies serangga dan ikan yang belum dikenal. Ekspedisi berikutnya, tahun 1992, bahkan menemukan dua danau baru yang sebelumnya tidak masuk peta: Danau Fouloukuo dan Tibeke.
Mereka yang percaya mokele-mbembe benar-benar ada mengacu kepada ditemukannya antelop jenis baru di Vietnam (Dunia yang Hilang di Vu Quang ). “Kemungkinan menemukan binatang besar jenis baru masih terbuka,” ujar Adam Davies dari Manchester. “Jika kami menemukan mokele, kami takkan mengusiknya. Tujuan utama kami adalah mendapatkan deskripsi akurat dan fotonya. Kemudian kami akan mengusulkan perlindungan menyeluruh bagi seluruh areal,” janji Davies.
Davies tergabung dalam Tim Ove Sundberg, sebuah tim gabungan dari Swedia yang ahli meneliti reptilia langka. Tim ini telah meneliti mokele-mbembe sejak tahun 2000. Ketuanya Jan-Ove Sundberg, ahli cryptozoologi yang pernah memburu monster laut di Danau Seljordvatnett di Norwegia.
Kendati diramalkan bakal menemui kegagalan, tim ini tetap optimistis. “Kita sedang menjelajahi sebuah daerah seluas dua kali Belgia yang tidak berubah selama jutaan tahun. Jika kita menemukan makhluk ini, akan menjadi sebuah alasan sangat kuat untuk melindungi seluruh habitatnya dari tekanan ekonomi,” kembali Davies yang pernah memburu orang pendek sumatra berjanji.

Manusia Terpendek

Acem yah... kalau sepatunya dipakai
Acem yah... kalau sepatunya dipakai
He Ping Ping, si manusia terpendek di dunia menghebohkan Kota Tokyo, Jepang saat menghadiri peluncuran edisi tahun 2009 Guinness Book of World Records pada Jumat (13/2) di Museum The Guinness World Records.
Mengutip Daily Mail, Minggu (15/2), Ping Ping yang lahir dengan tingi tubuh hanya 74,1 cm dan berat 7 kg, dengan lucunya masuk ke dalam sepatu Bao Xishun, pria tertinggi di dunia.
Kedua manusia ini sebelumnya sudah resmi dinyatakan sebagai manusia terpendek dan tertinggi di dunia oleh pihak Guinness.
Ping Ping kini tinggal di Mongolia Dalam, China dan Kota Tokyo merupakan salah satu tempat yang dia kunjungi dalam rangka tur sedunia selain London dan New York.
Secara kebetulan, Ping Ping tinggal berdekatan dengan Bao Xishun yang memegang rekor pria tertinggi sedunia dengan tinggi mencapai 2,36 meter meski gelar non resminya jatuh pada Leonid Stadnyk asal Ukraina dengan tinggi tubuh 2,57 meter.
Saat ditanyai mengenai tubuhnya, Ping Ping mengatakan, “Saya tidak pernah iri pada orang yang lebih tinggi dari saya. Perlu Anda ketahui, jika Anda tinggi maka sulit untuk bergerak dan tidak nyaman.”
“Saya dengan mudahnya menyelinap ke mana saja dan oleh karena itu jauh lebih mudah menjadi orang pendek,” tambahnya.

Fosil Ular Raksasa Telah Ditemukan. Sapi Pun Dilahapnya…Nyam…Nyam…


Sapi Pun Diembatnya
Sapi Pun Diembatnya
Takut dengan Ular..? Itu alamiah, dan tidak dilarang karena potensi bahaya dimilikinya. Dengan yang kecil saja saja menyeramkan, apalagi dengan ular yang ukurannya lebih besar dari ular raksasa hasil imajinasi Hollywood  dalam film Anaconda.
Dalam adegan film Anaconda, Jenifer Lopes berteriak histeris dan berlarian kesana kemari menghindar seekor ular pemangsa raksasa. Ular dalam film itu panjangnya 12,1 meter. Imajinasi para pembuat film Hollywood itu, masih kalah panjang dibanding fosil ular hasil temuan para ilmuwan baru-baru ini.
Fosil dari timur laut Kolombia ini menjadi pertanda bahwa saat masih hidup, binatang melata itu merupakan ular terbesar di dunia. Dari tulang punggung fosil ini, beratnya diperkirakan mencapai 1,35 ton atau antara 730 kg hingga 2,03 ton. Panjangnya dari hidung hingga ujung ekor mencapai 13 meter atau sekurang-kurangnya 10,64 meter hingga 15 meter.
“Benda ini (fosil ular) berbobot lebih berat daripada seekor bison, dan lebih panjang dari sebuah bus kota,” kata ahli ular Jack Conrad dari American Museum of Natural History di New York.
Sementara ahli fosil Jason Head dari University of Toronto Missisauga berujar, “Ular itu bisa menelan sapi dengan gampang. Seorang manusia juga dapat segera ditelan.Kalau ular itu masuk ke ruangan saya untuk memakan saya, maka dia akan kesulitan melewati pintu.”
Sebenarnya, monster melata itu di masa lalu mungkin melahap dan mengunyah buaya di hutan hujan tropis yang menjadi tempat tinggal mereka sekitar 58 juta hingga 60 juta tahun lalu. Para penemu fosil menamakan fosil ular tersebut “Titanoboa cerrejonensis” (baca: “ty-TAN-o-BO-ah sare-ah-HONE-en-siss”). Artinya, “ular boa yang sangat kuat dari Cerrejon. (Cerrejon adalah nama daerah tempat fosil ditemukan).
Titanoboa pertama kali disingkap di awal 2007 di Florida Museum of Natural History di Universitas Florida di Gainesville. Para ilmuwan kemudian melakukan rangkaian penelitian sebelum merilisnya dalam jurnal Nature, Kamis lalu. Namun para ilmuwan masih akan kembali ke Kolombia untuk menemukan beberapa bagian fosil yang belum ditemukan.
Ukuran tubuh titanoboa yang luar biasa memberi petunjuk tentang habitatnya. Dengan tubuh sebesar itu menunjukkan bahwa titanoboa hidup di suhu lingkungan yang hangat. Tampaknya temperatur di garis khatulistiwa meningkat bersamaan dengan suhu global. Ini kontras dengan hipotesis yang mengatakan bahwa suhu tidak akan naik.
“Ini adalah sebuah lompatan kalau diterapkan pada kondisi masa lalu dengan perubahan iklim, kata Head. Menurut Head, penemuan itu menggambarkan bahwa daerah di garis khatulistiwa akan menghangat bersama dengan bertambahnya usia planet. “Namun tidak akan ada lagi ular raksasa karena kita sudah memusnahkan habitat mereka dengan pembangunan dan penebangan hutan di wilayah ekuator,” kata Head.
Suku Boidae
Fosil ular yang ditemukan ini bisa dipastikan dari suku Boidae atau jenis-jenis ular berbadan besar seperti Anaconda, Boa, da Piton. Jenis ini termasuk primitif dan memiliki saki-saki (organ tubuh yang tidak berfungsi lagi), berupa sekat pinggul dan tungkai belakang. Meskipun tidak termasuk dalam jenis berbisa, namun cara ular ini memangsa korbannya cukup sadis. Yaitu dengan cara membelit dan menelan.
Dari hasil penelitian para ahli tersebut, ular ini adalah kombinasi antara jenis Boa dan Anaconda. Tubuh Titanoboa seperti tubuh seperti boa modern, namun berperilaku seperti anaconda dan menghabiskan waktu di dalam air. Kalau sedang di darat, Titanoboa akan bergerak melata.
Ular ini memiliki kemiripan dengan Anaconda Hijau yang masih termasuk keluarga Boa. Ular Amerika Selatan ini termasuk ular terbesar di dunia. Sepupunya, Phyton, mempunyai tubuh yang sangat panjang tapi dengan tubuh besarnya, anaconda hijau, nampak 2 kali lebih besar.
Saat ini, Anaconda Hijau dapat tumbuh lebih dari 29 feet atau 8,8 meter dengan berat lebih dari 550 pon atau 227 kg dan diameter kurang lebih 12 inci atau 30 cm. Diantara kerabat anaconda, anaconda hijau lah yang paling besar. Ukuran tubuh betinanya lebih besar daripada yang jantan. Anaconda hidup di rawa-rawa, air yang arusnya lemah.
Tubuhnya dirancang untuk mudah berjalan di air daripada di darat. Mata dan rongga hidungnya terletak di atas kepala sehingga memudahkannya untuk menyelam dan beraktivitas di dalam air. Pada masa kawin, terjadi kompetesi antar penjantan untuk memperebutkan sang betina dan hal ini terjadi selama 4 minggu.)
Anakonda dalam bahasa latin disebut Eunectes murinus termasuk dalam golongan phylum chordata, yaitu golongan hewan yang memiliki notokorda atau chorde yaitu tali sumbu tubuh syaraf belakang dengan rangka. Ukuran chordata beragam ada yang besar dan ada yang kecil dengan otak yang terlindung tengkorak untuk berfikir. Anakonda masuk dalam Kelas Reptil, Ordo Squamata, Keluarga Boidae, sejenis ular boa air.
Anakonda hidup di Amerika Selatan, sebelah timur Andes, sebagian besar di sungai Amazon, Orinoco dan Guianas. Habitat mereka di rawa-rawa dan semak belukar. Mereka tak pernah ditemukan jauh dari perairan. Rawa merupakan tempat favoritnya. Ketika mereka keluar dari air, tubuh anakonda akan dirundung oleh kutu-kutu atau jamur.
Seekor Anakonda memulai reproduksi dalam usia muda dengan masa kehamilan selama 6 bulan. Seekor betina dapat beranak 20 hingga 40 ekor dan kadang-kadang lebih dari 100 ekor. Anakonda yang baru lahir biasanya memiliki panjang 60 cm. Beberapa jam setelah mereka lahir sudah dapat berenang, berburu dan merawat dirinya sendiri. Setelah melalui proses perkawinan, anakonda akan tumbuh panjang namun lambat.
Ular dan Manusia
Anaconda dan Manusia
Anaconda dan Manusia
Dalam kitab-kitab suci, ular kebanyakan dianggap sebagai musuh manusia. Dalam Alkitab (Perjanjian Lama) diceritakan bahwa Iblis menjelma dalam bentuk ular, dan membujuk Hawa dan Adam sehingga terpedaya dan harus keluar dari Taman Eden. Dalam kisah Mahabharata, Kresna kecil sebagai penjelmaan Dewa Wisnu mengalahkan ular berkepala lima yang jahat. Dalam salah satu Hadits Rasulullah saw. pun ada anjuran untuk membunuh ‘ular hitam yang masuk/berada di dalam rumah’.
Anggapan-anggapan ini, bagaimanapun, turut berpengaruh dan menjadikan kebanyakan orang merasa benci, jika bukan takut, kepada ular. Meskipun sesungguhnya ketakutan itu kurang beralasan, atau lebih disebabkan oleh kurangnya pengetahuan orang umumnya terhadap sifat-sifat dan bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh ular. Pada kenyataannya, kasus gigitan ular –apalagi yang sampai menyebabkan kematian– sangat jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan kasus kecelakaan di jalan raya, atau kasus kematian (oleh penyakit) akibat gigitan nyamuk.
Pada pihak yang lain, ular pun telah ratusan atau ribuan tahun dieksploitasi dan dimanfaatkan oleh manusia. Ular kobra yang amat berbisa dan ular sanca pembelit kerap digunakan dalam pertunjukan-pertunjukan keberanian. Empedu, darah dan daging beberapa jenis ular dianggap sebagai obat berkhasiat tinggi, terutama di Tiongkok dan daerah Timur lainnya. Sementara itu kulit beberapa jenis ular memiliki nilai yang tinggi sebagai bahan perhiasan, sepatu dan tas. Seperti halnya biawak, kulit ular (terutama ular sanca, ular karung, dan ular anakonda) yang diperdagangkan di seluruh dunia mencapai ratusan ribu hingga jutaan helai kulit mentah pertahun.
Dalam kenyataannya, ular justru kini semakin punah akibat aneka penangkapan, pembunuhan yang tidak berdasar, serta kerusakan habitat dan lingkungan hidupnya. Ular-ular yang dulu turut serta berperan dalam mengontrol populasi tikus di sawah dan kebun, kini umumnya telah habis atau menyusut jumlahnya.
Manusia sebenarnya tidak usah takut pada ular karena ular sendiri yang sebenarnya takut pada manusia. Ular tidak dapat mengejar manusia, gerakannya yang lamban bukan tandingan manusia. Rata-rata ular bergerak sekitar 1,6 km per jam, jenis tercepat adalah ular mambaa di Afrika yang bisa lari dengan kecepatan 11 km per jam. Sedangkan manusia, sebagai perbandingan, dapat berlari antara 16-24 km per jam.

Dracula : Legenda Pangeran Pengisap Darah

Pangeran Vampir
Pangeran Vampir
Mendengar nama Dracula, sontak yang terlintas di benak kita sosok vampir yang selalu haus akan darah manusia. Gambaran itu telah merasuk dalam pikiran kita sejak era Bram Stroker dengan novelnya yang berjudul Dracula (1897). Novel legendaris yang mengadopsi kisah nyata seorang pangeran Wallachia (Rumania) bernama Vlad Tapes “Dracula” yang bertarung melawan serbuan kesultanan Ottonam atas wilayahnya (menjelang periode akhir Perang Salib). Inilah kisahnya…
Vlad Tapes “Dracula” (1431-1476) adalah putra dari Vlad II (Vlad Dracul) yang diangkat menjadi anggota Orde Naga oleh Kaisar Romawi. Vlad Dracul adalah orang yang gigih melawan serbuan kesultanan Ottonam atas wilayahnya. Sementara Vlad Tapes Dracula sebaliknya menjadi sosok yang dibenci baik oleh musuhnya maupun oleh rakyatnya sendiri karena kekejamannya. Dracula dilahirkan di Transylvania, Rumania atau dikenal dengan Wallachia Nama Dracula sendiri berarti anak laki-laki Dracul -anak laki-laki naga- (Drac = naga. ull=anak), nama ini merupakan gelar yang diperolehnya karena keanggotaan ayahnya di Orde Naga.
Masa kecil Dracula memang tidak berlangsung lama, diusianya yang ke 11 ia harus menjadi jaminan kesetian ayahnya kepada kesultanan Turki ottoman, ia dan adiknya Randu harus dikirim ke Turki. Setelah perang Verna, terjadi konflik antara Vlad II dan John Hunyadi ( pengganti Sigismund, Raja dari kerajaan Hungaria ) dalam memperebutkan Wallachia, yang berujung pada kematian Vlad II dan Mircea, kakak Dracula. Melihat perubahan politik di Wallachia tersebut, maka sultan Turki ottoman Mehmed II mengirimkan Dracula pulang ke wallachia untuk merebut tahta.
Dracula kembali ke Wallacia dengan di kawal 8000 prajurit Turki ottoman. sesampainya di Tirgoviste ( ibu kota wallachia ) terjadi pertempuran antara pasukan Vlasdisav dengan pasukan Dracula, yang akhirnya di menangkan oleh pasukan Dracula dan menempatkan Dracula sebagai penguasa Wallachia. Setelah berhasil menduduki tahta, Dracula berbalik membantai prajurit Turki ottoman yang tersisa
Selain itu Vlad Tepes juga memiliki sebutan yang menyeramkan Vlad The Impaler  (Vlad si Penyula). Di sebut Penyula karena konon Vlad dikenal sebagai tokoh  yang senang melakukan kekejaman terhadap orang-orang yang tak disukainya. Salah  satu metode penyiksaan yang disukainya adalah dengan menyula (menusuk dari  pantat hingga kepala) hidup-hidup musuh-musuhnya. Diperkirakan ia telah membunuh 40.000 hingga 100.000 orang dengan cara-cara yang kejam.
Keganasan Vlad Tepes yang luarbiasa akhirnya berakhir ketika ia tewas dalam sebuah penyerbuan orang-orang Turki di sebuah kota dekat Buchares. Kepalanya dipisahkan dari  tubuhnya dan dibawa ke Konstantinopel sebagai persembahan kepada Sultan Turki.  Tubuh tanpa kepalanya dikuburkan di Snagov sebuah pulau di Bucharest. Dari sinilah legenda vampire (mahluk penghisap darah) mulai hidup. Konon Vlad Tepes tidak benar-benar mati, ia menjadi mayat hidup, menjadi vampir dan menyebarkan wabah vampir kepada orang-orang yang digigitnya. Kisah ini menjadi legenda. Diceritakan dari generasi ke generasi di kalangan penduduk Balkan yang masih percaya pada takhyul.
Legenda rakyat Balkan itulah yang akhirnya di adopsi oleh Bram Stroker dalam bentuk novel yang berjudul Dracula di tahun 1897. Walau dalam novelnya tak menyebutkan nama Vlad Tepes, namun latar belakang kisah hidup Dracula dalam novelnya mengindikasikan bahwa Vlad Tepes-lah yang diadopsi oleh Stroker untuk menjadi tokoh utama dalam karyanya.
Selain Stroker, buku-buku tentang Dracula terus ditulis orang, mungkin angkanya telah mencapai ribuan buku. Apalagi setelah Hollywod mengkomersilkan lagenda vampir dengan film-filmnya. Konon, hampir 300 film pernah dibuat
berkaitan dengan vampir dan Dracula.
The Historian

Penulis Legendaris Bram Stoker
Penulis Legendaris Bram Stoker
Selain Bram Stroker adapula Elizabeth Kostova yang melakukan riset sejarah mengenai Dracula, dan menuangkan hasil risetnya kedalam sebuah novel sejarah yang dikemas dalam horor-suspense yang memikat, yang diberi judul The Historian (Sang Sejarahwan). Berbeda dengan Darculla-Bram Stoker, Kostova lebih memberikan nuansa sejarah pada novelnya ini, sehingga pembaca tak hanya disuguhkan oleh ketegangan dan kengerian semata, melainkan pembaca juga diajak menyelusuri siapa sebenarnya dibalik sosok Dracula berdasarkan fakta sejarah yang diperoleh Kostova dari risetnya selama 10 tahun.
The Historian ditulis oleh Elizebeth Kostova dengan gaya yang indah dan  Memikat dan menyajikan nuansa yang berbeda. Walau yang menjadi tema utama adalah pencarian sosok Drakula yang menyeramkan, namun tak ada
ketakutan yang berlebihan pada novel ini. Ketegangan dan kemisteriusan menyelimuti seluruh halaman novel ini, dimulai dari ditemukannya buku kosong bergambar naga, kisah kekejaman Vlad Tepes ketika mengeksekusi musuh-musuhnya, vampir yang membuntuti dan menyerang dengan tiba-tiba, hingga sosok drakula dan aktivitasnya yang unik dan tak terduga akan ditemui dalam novel ini.
Selain itu aroma sejarah juga tercium dengan tajam pada novel ini. Dengan  deskripsi sejarah yang diurai secara kronologis dan menarik sehingga tak membosankan, Kostova mengajak pembacanya bertamasya ke abad 15 dimana Dracula pernah hidup dan berjuang melawan serangan tentara Turki dibawah pemerintahan Sultan Mehemd II. Pembaca juga akan diajak berkelana ke tempat-tempat eksotis seperti Oxford, Istanbul, Rumania, Bulgaria, untuk menelusuri buku-buku kuno, mansukrip-manuskrip bersejarah, kisah para santo, puisi kuno, legenda dan
lagu-lagu rakyat yang berkaitan dengan Drakula.
Tengkorak Vampir

Fosil Tengkorak Vampir
Fosil Tengkorak Vampir
Lalu apakah benar setelah kematiannya Vlad Tapes “Dracula” berubah wujud menjadi mahluk penghisap darah..? entahlah. Tetapi paling tidak sebuah peristiwa yang menggemparkan pernah terjadi dan seolah mendukung keberadaan Vlad sebagai mahluk penghisap darah.. Sebuah cerita menjelaskan, Di Venesia (Italia) pada tahun 1576 terjadi satu wabah mematikan yang membuat banyak orang panik. Jutaan orang telah bergelimpangan. Tidak ada satupun orang yang mengetahui apa yang menjadi penyebab wabah mematikan ini. Penjelasan bersifat ”ilmiah” mungkin lebih tepatnya religius pun beredar: bahwa vampir penghisap darah telah menyebarkan wabah epidemi ini.
Dalam literatur terkait peristiwa abad abad ke-16 itu, tepatnya seiring dengan persebaran wabah epidemi tersebut, ada banyak pemakaman massal yang digali untuk mengubur jutaan orang mati yang diduga akibat wabah penyakit yang diduga disebabkan oleh vampir. Karena minimnya lokasi pemakaman, warga kota pun memanfaatkan makam yang sama untuk mengubur jenazah baru secara massal.
Entah benar atau tidak, tetapi baru-baru ini Matteo Borrini, seorang arkeolog dari Universitas Florence di Italia menemukan kerangka seorang perempuan dengan batu bata kecil tersumbat di mulutnya saat menggali sebuah kuburan massal korban wabah penyakit semasa abad pertengahan di Lazzaretto Nuovo Island Venesia.
Borrini menyampaikan temuannya ini dalam sebuah pertemuan America Academy of Forensic Science di Denver Colorado beberapa waktu lalu (Newscientist,9-3-2009). Ia juga mengklaim bahwa temuannya telah diuji secara forensik. Dan ia mempercayai tengkorak  itu mempunyai hubungan dengan penyebaran wabah pada tahun 1576. “Di masa itu, para penggali kubur menyumbat mulut  para vampir dengan batu bata untuk mencegah mereka bisa bangkit dan menghisap darah manusia lagi,”jelas Borrini.
Namun pernyataan Borrini bahwa tengkorak itu adalah bukti pertama di bantah oleh Peer Moore-Jansen dari Universitas Wichita State di Kansas. Peer menyebutkan ia pernah menemukan tengkorak dengan kondisi yang sama dengan temuan Borrini. “ Itu memang cukup menarik, namun apa yang di klaim Borrini sebagai tengkorak vampir pertama adalah lelucon,”kata Peer Moore-Jansen. Borrini sendiri mengatakan, perincian studinya terkait keberadaan kuburan massal ini adalah menunjukkan bukti keberadaan vampire/Dracula. “Tengkorak itu menunjukkan bukti exorcisme (ritual pengusiran setan) vampir secara arkeolog” tutur Borrini.
Jika penuturan Matteo Borrini benar adanya, berarti tengkorak wanita penghisap darah itu adalah salah satu korban wabah vampire yang ditularkan oleh sang pangeran Vlad Tapes Dracula yang melanglang buana hingga ke Italia. Hiii…..
Kastil Dracula
Awal Februari 2007 , situs resmi The Associated Press dalam sebuah kolom beritanya mengabarkan bahwa Puri Bran yang diyakini sebagai tempat kediaman Dracula, dijual seharga 78 juta dolar oleh pewarisnya kepada pemerintah Rumania. Langkah tersebut diambil demi pelestarian tempat legendaris di Transylvania tersebut. Kabarnya lebih dari
400 ribu orang mengunjungi puri itu setiap tahunnya, terutama karena dikaitkan dengan Vlad the Impaler atau Pangeran Dracula.
Vlad bukanlah pemilik puri itu, namun diyakini telah menggunakan tempat itu selama kunjungannya ke Transylvania. Dia juga terkurung di tempat itu selama dua bulan pada tahun 1462 setelah ditangkap olah musuhnya dan dipenggal.

Burung-Burung Phoenix dari Maehongso

Gadis Karen
Tatapan polos dan bersahaja yang ditebarkan wanita-wanita Suku Karen Padaung (Suku Kayan) akan Anda balas dengan tatapan aneh, takjub dan penasaran melihat betapa panjangnya leher mereka serta membayangkan bagaimana ia melewati hari-harinya dengan dibebani sejumlah gelang logam pada leher, kaki maupun pergelangan tangan mereka. Itulah yang akan Anda rasakan kalau berkunjung ke desa Suku Karen di Thailand. Alasan mereka memakai gelang-gelang itu pun terbilang sangat unik. Konon katanya, mereka ingin menjadi seperti Burung phoenix.
Di Provinsi Maehongson sebelah utara Kota Bangkok-Thailand, hiduplah beberapa suku gunung yang berasal dari Burma atau Myanmar. Diantaranya Suku Akha, Suku Karen, Suku Lisu dan sebagainya. Mereka adalah komunitas suku-suku yang memiliki latarbelakang sejarah dan kebudayaan unik.
Namun di antara suku-suku itu, Suku Karen yang dianggap paling unik. Di leher wanita-wanita Suku Karen dipasang gelang logam berwarna keemasan. Gelang-gelang ini fungsinya untuk membentuk leher dan kaki mereka agar lebih panjang, karena menurut adat mereka, semakin panjang leher wanitanya maka mereka akan dianggap semakin tampak cantik.
Yang lebih unik lagi alasan mereka mengenakan gelang-gelang itu dilatarbelakangi kebudayaan turun temurun serta kepercayaan bahwa wanita Suku Karen berasal dari seekor Burung Phoenix. Bagi orang Suku Karen, phoenix adalah nenek moyang wanita yang berpasangan dengan naga yang dianggap sebagai nenek moyangnya para pria suku itu.
Berat gelang besi di leher wanita dewasa mencapai 5 kg dan gelang kaki di bawah lutut beratnya masing-masing 1 kg. Berarti setiap hari mereka membawa beban 7 kg. Wah, mau cantik ternyata berat juga ya…!
Gelang tersebut mulai dipakaikan sejak mereka berusia 5  tahun. Awalnya hanya 2-3 tumpuk gelang, dan setiap 2-3 tahun sekali tumpukan gelang ditambah sampai mereka mencapai usia 19 tahun dimana gelang-gelang tadi digantikan dengan gelang besi yang terbuat dari 1 besi lonjor panjang yang dibentuk melingkar / dililitkan ke leher mereka. Gelang itu bisa dilepas tapi proses pelepasannya sendiri tidak mudah dan hanya dilakukan pada saat menikah, melahirkan dan meninggal dunia.
Berat gelang-gelang itu mendorong tulang selangka, tulang bahu dan tulang rusuk turun. Sehingga secara otomatis leher wanita-wanita karen memanjang. Semakin panjang, mereka merasa semakin mirip dengan Burung Phoenix nenek moyang mereka.
Fungsi lain dari gelang-gelang itu adalah sebagai pelindung. Dulu waktu mereka masih tinggal dipegunungan, mereka sering terlibat kontak dengan binatang buas seperti harimau, beruang dan sebagainya. Umumnya, binatang buas  menyerang manusia pada bagian leher dan tenggorokan. Untuk itulah gelang-gelang itu berfungsi sebagai pelindung bagi kaum hawa Suku Karen.
Keunikan Suku Karen dimanfaatkan dengan “sangat baik” oleh dunia pariwisata Thailand. Mereka ditempatkan di beberapa desa diantaranya, Huay Pu Keng, Huay Suah Thoh, Kayan Pu Keng dan sebagainya. Desa-desa ini di promosikan sebagai salah satu keunikan kebudayaan Thailand. Para wisatawan yang berkunjung untuk menyaksikan keunikan Suku Karen dikenakan biaya sebesar $10 US.
Untuk membantu pendapatan keluarga, wanita Suku Karen juga menjual berbagai jenis barang kerajinan khas suku itu. Misalnya kain tenun Suku Karen yang cukup popular serta foto-foto yang menunjukkan kegiatan mereka sehari-hari termasuk proses pelepasan gelang leher. Sementara kaum pria sehari-harinya bekerja di ladang dari pagi hingga petang.
Namun keunikan wanita Suku Karen bukan tak beresiko. Kaum wanita di suku ini kebanyakan hidup sampai umur 45-50 tahun saja. Kabarnya karena berat gelang yang mencapai 7 kg, dipercaya telah merusak tulang leher seiring bertambahnya usia mereka. Dunia pariwisata belakangan sering dipersalahkan karena mendorong penggunaan cincin leher. Alasan industri wisata melakukan itu tentu saja karena Suku Karen merupakan atraksi populer bagi wisatawan. Itu artinya memberikan pemasukan yang tidak sedikit bagi industri pariwisata Thailand.
Suku-Suku Terbuang

Keluar dari rumah
Suku Karen dan suku lainnya di Maehongson adalah suku terasing dari pedalaman Myanmar. Mereka adalah suku pegunungan yang tinggal di hutan-hutan sekitar perbatasan Thailand-Myanmar. Desa-desa aslinya ada di pelosok Myanmar, serta propinsi2 Chiang Rai,Mae Hong Son dan Chiang Mai (kadang berpindah2).
Pada tahun 1949 berkecamuk perang saudara yang membuat mereka terpaksa mengungsi. Karen National Union dan kelompok gerilya suku-suku minoritas lain bertempur melawan pemerintahan Mynmar. Sejak tahun 80an hingga saat ini militer Mynmar berhasil mengusir warga dari 3 ribu desa milik Suku Karen. Suku-suku itu mendaki gunung melewati perbatasan dan tinggal di Provinsi Maehongson.
Suku terbuang ini hidup seperti pengungsi tanpa identitas di Thailand. Berdasarkan laporan UNESCO pada tahun 2008, hampir dua juta orang suku pegunungan yang tinggal di Thailand tak punya kartu identitas.
Dikatakan, hampir 70 persen dari mereka tak bisa mendapat pendidikan dasar seperti anak-anak Thailand lainnya, dan 98 persen tak bisa mendapat pendidikan yang lebih tinggi.
Community Leaning Center (CLC) atau pusat Kegiatan Masyarakat di Mae Hong Son mencoba mengatasi masalah ini dengan membantu sekitar 30 anak suku pegunungan mendapatkan akses ke pendidikan yang lebih tinggi.